cerpen santri


Aku Rindu Bulan dan Bintang
Oleh: Nabila Fitriyani

Malam bertabur bintang perwujudan atas penantian kerinduan yang tak terelakkan.

Kamis, 24 April 2020 jam 16.40 WIB. Matahari mulai tenggelam, awal dari kerinduan. Pertemuan singkat mengantarkan pada kerinduan yang berat. 
Di ruang tamu, aku berpamitan dengan Ibu yang sedang bersedih memikirkan kepergianku selama 20 hari lamanya. Padahal Ibu sudah mengetahui hal itu, bahkan Ibu sendiri yang mendaftarkanku untuk ikut mondok pasaran(mondok sekitar 1 bulan di bulan ramadhan). Namun karena hati seorang Ibu yang lembut tak kuasa ditinggal oleh anak perempuan semata wayangnya.

Dengan membawa tas-tas yang telah aku siapkan, aku beranjak menuju tempat Ibu, ”Assalamu’alaikum ... Ibu, Buu ... Adiba pamit, Adiba minta restu dan keridhoan Ibu. Adiba janji akan membawa bekal banyak sepulang dari pondok, Adiba akan giat dan rajin," aku menunduk tak kuasa memandang wajah Ibu.

“Waalaikumussalam ..., Sayang, iya, Ibu izinin Adiba menuntut ilmu. Jangan sia-siain bulan ramadan yang penuh berkah ini, Sayang. Bulan ini hanya ada 1 dalam setahun, tidak ada yang tau kita dapat berjumpa lagi atau tidak. Selagi bersama usahakan semaksimal mungkin. Semoga Adiba mendapat ilmu yang banyak di sana (dengan wajah tersenyum menutupi kesedihan yang tak mampu disembunyikan). Yang harus Adiba ingatt, Ilmu tidak akan masuk selama orang tersebut tidak memiliki adab. Adab itu sangat penting, Sayang. Hormati dan hargai setiap orang kalo kamu ingin banyak teman (Ibu kembali tersenyum). Belajar yang rajin yaa ....” wajah yang tak pernah luput akan senyum menatapku.

Aku mengangguk, berusaha memaknai pesan Ibu. 
Ayah yang sedari tadi menungguku di pelataran rumah, berdehem sebagai tanda memanggilku untuk cepat-cepat. Aku pun bangkit berhenti menatap wajah cantik ibu.

________Ibu, Adiba pamit_______

“Adiba?, apa ini benar adik Adiba?”, menepuk pundakku, melebur lamunanku.

“Iya benar.” Jawabku
“Mari aku tunjukkan kamarmu, Adiba.” Ajak pengurus ramah itu padaku.

“Eh ... iya, Kak.” aku menjawab ragu-ragu.

Kepalaku mendongak menatap tulisan “Kamar B1”, entah mengapa batinku mengatakan aku akan merindukan tempat ini. 

“Gubrakk, eh maaf, Kak. Aku gak sengaja, aku buru-buru takut kena takzir.” Anak berusia di bawahku menabrak, meminta maaf, dan tersenyum singkat padaku.
Sebelum aku menjawab, ia telah pergi membawa kardus yang terjatuh itu memasuki kamar B1. 

“Mari ...., apakah kamu akan terus berdiri di sini?, sebentar lagi maghrib, kamu akan dikira santri yang terlambat berangkat dan akhirnya kamu kenapa takzir. Kamu mau?” ucap kak santri itu.

Tanpa kata, aku buru-buru membawa barang bawaanku, cepat-cepat pergi. Entah sekejam apa takziran itu hingga membuat para santri ketakutan, termasuk aku yang terbawa suasana. 

Kamar B1 adalah kamar yang paling luas di antara kamar-kamar yang lain, sehingga tak heran jika jumlah penghuninya lebih banyak, yaitu 34 santri di sini. Ramai sekali di kamarku ini, mereka berberes-beres sambil mengobrol menceritakan banyak hal. Mereka tertawa saling sapa seakan-akan tidak bertemu lama. Aku hanya mengamati disekelilingku, berusaha beradaptasi di lingkungan baru ini. Rasa-rasanya hanya aku yang gundah malam ini. “Aku rindu ibuu ....”, suara hatiku yang terus memanggil nama ibu. Sejam saja serasa seabad bagiku. Sungguh menyebalkan.

“Mbak-mbakk .... siap-siap”, ujar salah satu pengurus yang lagi-lagi membuyarkan lamunanku.

Tok-tok-tok tok-tok-tok suara ketukan yang terus berbunyi, menyibukkan setiap santri untuk bersiap-siap salat maghrib.

________Malam jumat yang indah_________

01.00 Istiwa’ terdengar dibalik tubuhku suara orang yang sedang membangunkan temannya.

“Septi ... bangun ... sep ... katanya mau lihat bintang, ayoooo ... buruan ..., sepp... ih lama bener. Septi.” Panggil-panggil orang tersebut membangunkan temannya yang tidur di sebelahku. 

Bukannya dia yang terbangun. Justru aku yang merasa dibangunkan. Aku beranjak duduk menyeimbangkan tubuhku yang masih mengantuk.

“Eh ... maaf, Kak. Aku gak sengaja, lagi-lagi aku mengganggu kakak, ehehe. Maaf," ucap dia.

Dalam hatiku ternyata dia adalah orang yang menabrakku tadi sore, sungguh menyebalkan telah menggangguku 2 kali. Huh

“Eh gakpapa kok, santuy aja," balasku dengan senyum.

“Oh ya, katamu tadi mau lihat bintang. Mana?, dimana maksudnya? Emangnya di sini bisa?” cerocosku ingin tahu.

Aku sangat menyukai hal-hal yang berbau langit, entah planet, awan, hujan, bahkan bintang aku sangat mengaguminya sejak kecil. Jadi wajar saja aku seantusias itu mendengar kata bintang disebut.

“Di atap, Kak. Di atas terbuka, tempat menjemur pakaian, di sana bisa liat bintan, bulan, senja, dll. Seruuu sekali di sana, kakak mau liat?, oh ya, nama kakak siapa?, aku Upa, ehehe.” Jawab Upa, nama orang tersebut. 

“Astaghfirullah (sambil menepuk jidatku), kita kan belum kenalan, sampai lupa aku. Maaf yaa. Namaku Adiba, salam kenal.” Jawabku berusaha ramah.

Upa hanya tersenyum dan kembali membangunkan temannya, Septi namanya. Aku pun ikut membantu Upa membangunkan temannya. Tak lama kemudian, Septi terbangun. Setelah itu, kami bertiga mandi terlebih dahulu. Ya. Jam 1 pagi kita mandi hal ini sudah menjadi hal biasa di pondok-pondok dikarenakan mandi di sini tidak seperti mandi di rumah, kita di sini antre jika ingin mandi. Karena aku tidak suka antre aku lebih memilih untuk mandi lebih pagi dibanding yang lain.

Di atap itu ternyata telah ada seseorang yang sedang sibuk menulis. Entah apa yang sedang ia tulis di pagi-pagi sekali seperti ini. Mungkin dia sedang rindu sepertiku, batinku. Rara, nama gadis itu, aku mengenalnya ketika salat maghrib kemarin, dia salat di sampingku. Kita saling berkenalan waktu itu.

“Ra ... sedang apa sendiri di sini?" tanyaku ingin tahu.

“Ini (menunjukkan bukunya), menyambung ceritaku, aku harus langsung menulis jika pikiranku jalan, kalau tidak aku akan lupa.” Jawabnya, ia fokus lagi ke bukunya, menulis.

Aku langsung menuju Upa dan Septi tak menghiraukan kesibukan Rara lagi, bagiku langit lebih menggiurkan. 
Upa dan Septi terlihat sangat bahagia sewaktu melihat langit bertabur bintang. Aku kira kecintaanku pada langit tak ada yang melebihi, ternyata dugaanku salah. Masih banyak orang-orang di atasku dalam kecintaan pada langit. Subhanaallah melihat kebahagiaan mereka. 

“Aku menatapmu, menikmati kesejukkanmu. Bulan dan bintang, manakah yang lebih indah?, entahlah keduanya sama-sama bersinar. Dulu, aku meminta ibu tuk mengambilkan bulan dan bintang saking indahnya. Kamarku dipenuhi bintang dan bulan, setiap kali ku meminta ibu mengambil bintang dan bulan di langit ketika itu juga kamarku ditambah 2 bintang dan 1 bulan oleh Ibu. Aaahh .. ibuu .. Adiba rindu.” Batinku berangan-angan, memutar memori lama.

______Selalu merindukanmu, Ibu_____

15.45 Istiwa
“... Gusti Allah niku merintahke panjenengan sedoyo kangge birrul walidain, bales kaliyan tiyang sepahe, awit alit dugi dewasa dos niki diopeni, amrih-amrih ben saged maem, menawi diken mijite be mboten purun ....” Ceramah Pak Kyai Sore itu.

”.....Allah ta’ala itu memerintahkan kalian semua untuk berbuat baik pada kedua orang tua kalian, balaslah budi mereka, sejak kecil sampai dewasa seperti ini dirawat, diusahakan agar dapat makan, masak disuruh mijiti saja tidak mau ...”, Ceramah Pak Kyai sore itu.

Ceramah itu langsung jleb masuk ke dalam relung hatiku yang terdalam seakan tombak yang dilepaskan, tepat sasaran. Aku menangis tanpa suara hanya tetesan air mata yang mengalir.

“Adiba? Kamu nangis?" tanya Mbak Isma, kita berkenalan kira-kira 10 menit yang lalu. Dia sangat sumeh dengan siapapun dan baik tak cocok denganku yang cuek, bodo amat dengan orang lain. 

Aku menggeleng, diam, dan menunduk. Mbak Isma ikut diam, tak menghiraukanku lagi, dia paham aku ingin fokus pada diriku sendiri. Aku sedang rindu pada ibuku.

Sungguh, jika ku ceritakan perilaku asliku di sana, aku tak mampu. Tak mampu membuka lagi, menggambarkan tingkah lakuku yang tak sebanding dengan mereka-mereka yang sholehah. Jika diumpamakan mereka mutiara, akulah pasirnya.

“... perlakuan kita pada kedua orang tua itu akan dibalas sesuai dengan perlakuan kita pada kedua orang tua, tampakkanlah senyum di hadapan mereka. Ridhanya Allah itu ridhanya kedua orang tuamu. Ketika kedua orang tuamu telah ridha, arsy itu berguncang ....” lanjut Pak Kyai.

Aku yang sedang mendengarkan sedari tadi seakan berada di persidangan. Suara-suara itu, nasehat-nasehat itu terus saja berputar-putar di kepalaku, menyadarkanku akan tingkah lakuku pada kedua orang tuaku. Aku manja, di rumah aku bagaikan raja. Sungguh tak beradab, ibu yang selalu mengingatkanku akan pentingnya adab hanyalah angin lalu. Tapi di sini aku seakan di sidang harus mendengarkan, mencermati, berangan-angan yang kemudian ungkapkan kebenaran. Oh Ibu ... Adiba ingin pulang, Adiba rindu.

“ ... Jangan sampai ketika orang tua sedang sakit tapi kita tidak mengetahui, Na’udzubillah. Berbicaralah kepada mereka dengan bahasa yang halus, berbahasa krama aluslah kepada mereka berdua. Itulah adab orang jawa menghormati kedua orang tuanya ....” lanjut Pak Kyai.

Aku secuil pun tidak pernah berbahasa krama alus kepada Ibu dan Bapakku. Akankah aku anak durhaka? Tak berbuat baik kepada mereka? Akankah Allah ridha padaku? Apakah aku telah beradab? Aku menyesal. Aku selalu menyakiti hatimu. Kadang aku berbicara kasar kepadamu baik sengaja maupun tidak. Ibu ... maafkan Adiba. Adiba ingin pulang Ibu, Adiba ingin membalas budimu yang belum terbalas secuil pun. Adiba rindu padamu, Ibu.

___Akankah ini akhir dari kerinduanku?___

20 hari telah terlampaui, tangis, tawa, marah telah ku berikan di sini, di tempat ini. Hari yang ku tunggu-tunggu. 20 hari tak bersua denganmu seakan-akan 20 abad lamanya. Ibu, jika ku rindu aku pergi ke atap menatap langit bertabur bintang, akankah Ibu melakukan hal yang sama denganku?. Aku berharap iya. Setiap kali dalam hatiku meminta bintang dan bulan untuk dipetik olehmu, kemudian kau gantungkan di atap kamarku. Ibu, akankah bintang dan bulan itu telah berganti dengan yang baru?, akankah yang lama sama indahnya atau lebih indah dari yang lama?. Ibu, kenanganlah yang aku lihat, yang lama tak akan terganti jika kenangannya lebih dari yang baru.

“Kak Adiba ..., ini untukmu,” secarik kertas disodorkan dihadapanku oleh Rara.
Rara adalah calon penulis, kecintaannya pada kepenulisan telah mendarah daging. Setiap langkah kaki ia menulis, entah apa yang dia tulis.

“Temanku ... kalian adalah teman yang selalu ada untukku, selalu ada di saat aku bersedih dan berbahagia. Hari-hari kita lalui bersama. Memiliki kalian bagaikan memiliki awan yang selalu ada. Kini sudah waktunya kita berpisah untuk waktu yang lama. Aku senang memiliki teman-teman seperti kalian. Terima kasih untuk waktunya, bagiku kalian adalah teman terbaik. Tolong jangan lupakan aku, aku akan merindukan kalian, teman terbaikku.” Tulisan secarik kertas itu.

Aku terkejut sebegitu perasanya dia denganku. Aku? Tak sedikit pun berbekas di hati, semua yang ku pikirkan hanya rumah. Lalu di sini? Bagiku hanya tempat penantian sambil belajar lebih baik lagi. Sungguh, aku pasti merindukan kalian semua di sini. Aku butuh belajar lebih banyak lagi. Aku masih menjadi sebutir pasir, sedang yang ku impikan sebutir mutiara.

Kemudian Rara mengajakku ke atas, aku mengangguk menyetujui.

Angin sepoi-sepoi membelai lembut wajahku, melambai-lambaikan kerudung unguku. Sejuk sekali kala itu. Di sana ada Upa, Septi, dan Mbak Isma yang ternyata telah menungguiku sedari tadi.

“Upa, Septi, Mbak Isma kalian sedang apa?” sapaku sambil tersenyum.

“Menunggu bintang dan bulan," jawab Mbak Isma sambil tersenyum menatap langit yang mendung.

Kita bertiga hanya tersenyum, berbarengan menatap langit. Mata kita di satukan di langit yang hampir hujan itu. Mengenai hujan, banyak kenangan perihal hujan. Menutup muka, tawa, teriak, membentangkan tangan, jongkok, berlari, berputar sungguh mengasyikan. Batinku tak kalah bahagia dengan lahirku kala hujan. 

Hujan saja tak tahan berlama-lama di langit. Ia rindu mencumbu bumi. Ia bergantian dengan kemarau yang tak tampak tapi dapat dirasa, seluruh sinarnya bukti kerinduan yang tak terelakkan. Begitu juga hujan, mampu dirasa, dilihat, namun tak mampu dicium. Baunya akan terasa ketika telah bercumbu dengan bumi. Itulah makna melengkapi.
Ibu, aku memiliki orang lagi yang akan ku rindu. Entah butuh berapa lama lagi hingga aku terbiasa tanpanya. Ibu, apakah Ibu juga merindukanku?, Ibu ... ada 40 bintang dan 20 bulan baru di kamarku sekarang, siapakah yang bersedia memberikan tempat untuknya, Ibu?, aku merindukannya, Ibu.
Ibu, Ayah apakah kalian menunggu ilmuku?, aku belajar banyak di sini, Yah, Bu. Perihal adab tak perlu kalian tanya, Bu, Yah. Aku akan berusaha mewujudkan itu, tak elok jika ku mampu mendefinisikan tapi tak ku wujudkan, bukan?. Ayah Ibu aku merindukan kalian.

“Ran, pulangnya jumat ya?, 2 hari lagi dong?”, tanya Tika, teman Rani (mereka salah satu teman sekamarku), mereka lewat di belakangku.

Mendengar itu, lamunanku kembali buyar. Fokus akan topik baru itu. Aku pun langsung ikut nimbrung percakapan.
“Apa? Kamu ngomong apa barusan, Tik?, jumat?2hari  lagi?pulang?" tanyaku nerocos.
Tika hanya diam merasa salah ngomong. Rani yang menanggapiku.

“emm itu, Kak. Katanya pulangnya diundur 2 hari lagi. Kata mbak pengurus aku, kak”, 
Aku, Upa, Septi, Rara bersamaan,”yah ....” kita bertiga kembali tak bertenaga.

______kerinduan yang ditakutkan______

Ibu ... kepulanganku tertunda, namun kerinduanku menambah. Aku ingin segera melihatmu. Memamerkan apa yang aku dapat di sini padamu. Ibu, aku akan lebih bersabar lagi. Do’akan aku semoga aku mampu.

Bintang dan bulan telah lama menungguiku, mereka rindu akan sayup-sayup mataku. Begitu indah dipandang, bukan? hitam legam itu merindu sekarang. Meskipun menatap langit yang sama tapu rasa berbeda. 

“Heii Kak Adiba ....” timpukan pundak yang mengagetkanku, Septi menegurku.

“Ada apa, Sep?, kaget tau”, jawabku.

“Kak Adiba jangan lupakan aku ya ....”, ucap Septi.

Singkat namun penuh makna, matanya tak mampu berbohong kalau dia akan merindu. Perihal rindu memang sulit, tak kalah akan cinta. Bagiku rindu lebih rumit ketimbang cinta. Entah mengapa. 

“Tidaklah, Sep. Justru kamu yang bakalan lupain, Kakak. Ehehe," jawabku menghibur.

“Hmmm ... entahlah, kak. Biarkan bintang dan bulan yang menjadi saksi,"
Kita kembali menatap langit sebagai perwujudan kerinduan. Rindu keluarga, kerabat, teman, sahabat, masa lalu, sekarang, bahkan masa depan yang belum terencana. 

 ________Ibu, Adiba kembali__________

Hari yang ku tunggu-tunggu telah tiba. Pertemuan denganmu akan segera terwujud, dan perpisahan yang baru tak terelakkan. Entah perpisahan ini akan ada pertemuannya?, aku takut merindu, sungguh.
08.00 Istiwa, Ayah menjemputku. Aku menatap lamat-lamat wajah Ayah. Satu kata untuknya, Ayah merindukanku. Entah apa yang merasuki kalbuku sekarang, semuanya terasa terbayar padahal aku belum bertemu dengan Ibu. 

Ayah bilang padaku, “Sudah cukup atau mau nambah lagi?” goda Ayah padaku.

Aku tersenyum dan membalas singkat, “Aku menemukan yang baru sekarang."

15 menit kemudian aku sampai di rumah. Penuh kegirangan setibanya, Ibu telah menungguku di pelataran rumah. Melambai, memeluk, menciumiku. Satu kata untuknya, Ibu merindukanku. Telah menjadi rasa tak mampu diungkap dengan kata kebahagianku kala itu.

Bulan, bintang ... apa kabar? Hanya do'a sebagai pelantara kita.
Tamat-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Mahasiswa?